Bukan Sekadar Tajuk Rencana

Buku "Pers Orde Baru; Tinjauan Isi Kompas dan Suara Kaya" tulisan Rizal Mallarangeng

Buku “Pers Orde Baru; Tinjauan Isi Kompas dan Suara Kaya” tulisan Rizal Mallarangeng

Ngulik-ngulik tentang media dan segala atributnya adalah hal yang menyenangkan. Bagaimana tidak,  media adalah bentuk penyihir moderen. Hanya saja media tidak bisa serta merta merubah kelinci menjadi kerbau atau merubah daun menjadi uang. Media memiliki power untuk menjadikan orang ganteng yang tadinya Cuma jadi pajangan saat jadi pager bagus di kondangan mejadi orang yang senantiasa diminta foto bersama setiap ketemu masyarakat. Begitulan media. Saat orang ganteng main sinetron semuanya tetiba berubah.

Hal yang tidak kalah menarik adalah konflik. Inget konflik jaman SMA atau jaman kuliah saat kita ber-gank? Konflik sekecil apapun menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Media pun dalam menjalankan operasionalnya tidak terlepas dari berbagai konflik. Yang paling hangat dan seksi adalah tentang tingkat objektivitas media terhadap realitas yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak dengan pemilik media atau orientasi ideologi dan politik pemiliknya. Contoh mudahnya adalah perang Baratayudha media biru dan merah saat Pemilu 2014 lalu.

Bentuk lain dari konflik operasional media adalah tentang keberadaan tajuk rencana dalam sebuah media terutama koran. Sebuah buku berjudul “Pers Orde Baru; Tinjauan Kompas dan Suara Karya” adalah buku yang berisi skripsi Rizal Malarangeng yang dibimbing oleh Ashadi Siregar. Kedua orang ini  dan skripsinya adalah produk yang lahir dari sebuah Kampus di Jalan Sosio-Yustisia di Jogjakarta. Sebuah yang setiap sudut nongkrongnya punya cerita berbeda-beda namun punya satu kenangan, BERKESAN.

Buku tersebut di sala satu bab-nya menuliskan tentang perlunya keberadaan tajuk rencana dalam sebuah koran. Tajuk rencana menurut bapak Taylor mengingatkan saya dengan fungsi dan tugas logo. Logo adalah mahluk dengan bentuk paling kecil berukutan 1×1 cm yang bentuk dan warnanya wajib merepresentasikan perusahaan atau organisasi atau orang yang diwakilinya.  Pun tajuk rencana. Tajuk rencana adalah “reflects the reputation and integrity of the publication, as well as the will of corporations”  (Taylor, 1995).

Logo dan tajuk rencan bak saudara kembar. Fungsi dan tujuannya hampir sama. Bedanya, tajuk rencana berbentuk tulisan sedang logo berbentuk bidang dan warna. Keberadaan logo begitu penting bagi organisasi, selain sebagai identitas yang tujuannya adalah membedakan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan lain, logo juga  sebagai model representasi dari organisasi. Maskudnya, seorang dapat melihat perusahaan dan segala isinya dari logonya. Logo mencerminkan kualitas dan asal organisasi. Tak heran jika perusahaan rela merogoh kocek dalam-dalam demi logo. Perusahaan menginginkan logo dibuat oleh orang atau perusahaan pembuat logo terpercaya.

Sama seperti logo, tajuk rencana juga menjadi cerminan media tersebut. Jika kita ingin melihat bagaimana pandangan media tersebut terhadap sebuah isu, bacalah tajuk rencana. Teks-teks yang dimuat dalam tajuk rencana juga dapat menunjukan bagaimana kecendrungan ideologi dan politik media tersebut. Begitu pentingnya tajuk rencana, maka perlakuan perusahaan media terhadapnya tidak berbeda dengan perlakuan media terhadap logo. Tajuk rencana harus dibuat oleh orang-orang profesional. Lagi-lagi menurut Taylor, “… you won’t get to write editorials until your hair begin to gray”. Artinya, hanya wartawan-wartawan senior dan loyal yang dapat dipercaya menulis editorial.

you won’t get to write editorials until your hair begin to gray

you won’t get to write editorials until your hair begin to gray

Konflik Tajuk Rencana

Pertanyannya adalah penting kah tajuk rencana dimuat sebuah media? Penting atau tidak pentingnya tajuk rencana adalah diskusi menarik karena hal ini berkaitan dengan duit dan idealisme.

Pertanyaan selanjutnya, seberapa besar efek muat-tidaknya tajuk rencana dengan oplah koran? Salah satu tujuan media dalah mencari keuntungan. Jika tidak memakai tajuk rencana saja laris lalu buat apa memuatnya.

Tajuk rencana adalah views. Artinya berisi opini media tentang sebuah isu yang berfungsi mendorong daya pikir pembaca dan mengajaknya berbincang-bincang tentang sesuatu sebelum pendapat umum mengenai sesuatu itu terbentuk (Arpan dalam Malarangeng, 2010). Selain pendapar Prof. Arpan ada pendapat lain terkait funsgi tajuk rencana. Namun kita tetap dapat menyimpulkan bahwa fungsi tajuk rencana terutama memang membentuk opini pembaca ke arah yang dianggap benar, baik dan perlu oleh penulis dan institusi pers bersangkutan. Jadi, jadi yang dilakukan melalui tajuk rencana bukan hanya to express melainkan juga to impress, bahkan terkadang to supress (Mallarangeng, 2010)

Dengan fungsi yang begitu mulia tajuk rencana seharusnya menjadi rubrik paling penting dan paling laris untuk dibaca. Sehingga berkonsekuensi dengan oplah media. Semakin baik media menulis tajuk rencan, semakin baik oplahnya. Itu logika sederahananya. Namun, menurut Arpan (dalam Mallarangeng, 2010) tajuk rencana adalah rubrik yang paling sedikit diperhatikan pembaca. Namun tajuk memiliki efektivitas yang tidak bisa diabaikan. Meskipun pembacanya sedikit, tajuk bisa berpengaruh dalam proses pembuatan keputusan, dan para pemimpin masyarkat sadar akan kehadirannya sehingga para pemimpinlah yang pertama-tama memberikan perhatian kepada isi tajuk (Hohenberg dalam Mallarangeng, 2010).

Melihat tajuk lebih banyak dibaca oleh para pemimpin, maka tajuk rencana seperti berlian. Hanya orang-orang tertentu yang punya selera tinggi yang menginginkannya. Kalo parodi slogan rokok, “Tajuk Rencan, Pemimpin Punya Selera”.

Kembali ke pertanyaan. Apakah tajuk rencana penting dimuat? Menurut Tjipta Lesmana bentuk tajuk yang terlalu akademis tidak memperlihatkan sikap tegas hanya membawakan “opini karet”:

Hasil dari cara penulisan yang analitis, panjang dan kurang mampu menunjukkan sikap biasanya adalah opini yang tidak tegas atau “opini karet”. Mungkin ada motif bagi penulisnya untuk menyembunyikan sikap sebenarnya terhadap masalah yang ditulis di balik analisa yang bertele-tele itu (Lesmana, 1985)

Dalam buku tersebut Rizal memberikan gambaran yang baik mengenai mengapa tajuk ditulis dengan bertele-tele. Salah satunya adalah faktor situasi politik yang berlaku di tempat media itu berada. Di Indonesia, situasi politik masa orde baru membuat sangat  mempersulit ruang gerak media. Sehingga hal ini berimbas pada gaya penulisan tajuk. Bagaimanapun dapur harus tetap mengepul. Maka mengaburkan sikap menjadi strategi untuk tetap mengepulkan asap di dapur namun tidak  menggadaikan idealisme dengan harga obral.

Maka tidak heran jika dalam Nazaruddin Najib mengakhiri polemik tentang perlu tidaknya tajuk dimuat di media dengan pernyataan berikut:

“Titik pangkal saya menyarankan agar supaya tajuk rencana tidak ada ialah karena terbata-batanya kemerdekaan pers dirasakan dewasa ini sehingga membikin tajuk overbodig, berlebih-lebihan, tak  berguna” (dalam Mallarengeng, 2010)

Pernyataan Nazaruddin tersebut memperlihatkan bahwa yang menjadi masalah bukan pada keberadaan tajuk rencana, namun pada situasi politik yang berlaku. Situasi politik yang berlaku yang mengekang kebebasan pers adalah penyakit yang mempengaruhi kesehatan isi tajuk rencana. Logo yang menggunakan warna merah itu tidak salah, namun menjadi masalah saat negara Bojong Koret mengharamkan warna merah.

Keberadaan tajuk rencana saja menimbulkan polemik. Namun dengan memandang sesuatu tidak dari satu arah saja, maka polemik tersebut bisa diminimalisir konfliknya.  Begitu pun masalah hidup. Milih-milih jodoh itu menimbulkan polemik, tapi coba lihat dari arah lain. Misalnya dari arah seorang tukang masak masakan padang.

“Kalo mau dapet rendang yang bagus itu masaknya lama, perlu kesabaran”

Terus hubungannya??