Bapak Tua yang Memikat

Kondisi cuaca yang gak menentu (mulai nyalahin cuaca) membuat banyak gerombolan semut yang makin lincah mondar-mandir di tenggorokan saya. Gatell abisss.Praktek  menyalahkan cuaca ini jangan ditiru ya. Karena mungkin yang bikin tenggorokan gatel adalah beberapa malam kemarin saya sempat begadang. Begadang dengerin curhatan teman lama.

Kondisi tenggorokan yang gak enak itu mulai menjalar ke seluruh tubuh. Entahlah, semacam mau flu gak jadi, seluruh badan saya berasa gak enak. Perasaan suhu tubuh panas tapi enggak. Perasaan hawa dingin tapi enggak juga. Pokoknya badan jadi gak enak. Mau ngapa-ngapain males. Bawaannya pengen goler-goleran di kasur sambil kepoin instagram. Hehe.

Tapi saya harus tetap berusaha ngurangin sakitnya. Minum madu, jamu, makanin jeruk, dan berbagai cara saya lakukan. Ada efeknya tapi ga terlalu. Kebetulan, suatu malam saya ketemu seorang teman. Saya ceritakan apa yang saya rasakan. Mendengar cerita saya, teman saya langsung menyarankan saya untuk mengonsumsi jahe.

Aha!! Itu dia jawabannya, Jahe!. Walaupun tetap yang menyembuhkan adalah Allah, bukan jahe.

Saat teman saya menyarankan itu, saya berpikir kok bisa ya saya lupa. Padahal saya adalah orang yang sering menyarankan mengonsumsi jahe kepada siapa saja yang lagi terjangkit model begini. Yaaa begitulah manusia kadang lupa. dan itulah guna silaturahmi  dan teman-teman yang baik.

Saya pun mencari yang jual wedang jahe. Kebetulan tidak jauh dari rumah ada yang jual STMJ. Artinya dia pasti jual wedang jahe.

Gerobak wedang jahe ini nangkring di depan sebuah toko yang setengah tutup. Gerobaknya tidak besar. Di depan gerobaknya ditempel spanduk yang bertuliskan “STMJ” yang menutupi hampir seluruh bagian depan gerobak. Jadi si penjualnya tidak bisa terlihat dari depan.

Saya pun masuk ke working spacenya. DI atas gerobaknya tidak terdapat banyak macam alat. Ada beberapa butir telur ayam kampung, madu di botol sedang, beberapa gelas bergagang,  ciduk deri batok kelapa, dan sekaleng susu kental manis.  Working space yang sangat sederhana. Saya membatin, semudah ini jualan STMJ.

DI sana saya dilayani seorang Bapak yang usianya mungkin 50an. Berawak sedikit gemuk. Tingginya pas dengan gerobaknya. Rambut cukuran ala jaman dulu yang ga pernah mau dicukur cepak atau mohawk. Kata mbah saya, orang yang cukur gaya anak sekarang itu pada jaman dia cuma tentara doang. Mbah saya juga bilang, kalo ada orang yang cukur model begitu tapi bukan tentara bisa ditangkep. Haha. Mbah saya ini emang kreatif.

Saya langsung memesan segelas wedang jahe untuk dibawa pulang. Di sana ada seorang pelanggan yang cukup intens ngeliatin saya. Setelah sepertinya dia mengumpulkan tenaga, niat, dan keberanian akhirnya dia menyapa saya.

Singkat cerita dia adalah teman kakak saya waktu SMA. Dia terakhir liat saya mungkin waktu saya kelas 3 SD. Percakapan saya dengan dia berakhir dengan saling bertanya nama. Oh iya, pada saat saya bercakap dengan dia, si penjual wedang hanya duduk mendengarkan.  Tidak ikut bersuara. Dia baru bersuara setelah saya berucap tentang dunia yang tidak selebar daun kelor. Karena kejadian seperti ini pernah saya alami di Bandara. Saat saya dan Ibu saya akan menjemput saudara yang baru pulang umroh, seorang satpam menghampiri saya dan ibu. Dia langsung bertanya kepada Ibu saya apakah Ibu saya itu ibu dari temannya (ribet amat ya, banyak kata-kata ibunya). Temannya di sini ternyata lagi-lagi kakak saya. Satpam tersebut adalah teman kakak saya sekolah waktu masih tinggal di sebuah daerah di Sumatera.

 

Saya pun pulang dari sana. Tentu dengan berucap terima kasih. Besok malamnya saya kembali lagi ke sana. Tentunya untuk membeli wedang jahe lagi. Baru saja saya turun dan belum bicara sepatah kata pun, dia langsung menyapa dengan sedikit senyum.

“Mas, Mar. Bungkus atau minum disini?” ujar si Bapak penjual wedang dengan suara berat dan logat jawa yang kental.

Mendengar dia menyebut nama saya, saya jadi berpikir kapan saya kenalan sama si Bapak itu. Setahu saya malam yang lalu saya tidak pernah kenalan. Setelah saya telaah dengan seksama dan hati-hati (gaya anggota DPR) saya baru inget, rupanya dia curi dengar percakapan saya kemarin. Hmmmm (sudah kuduga).

Pada saat dia menyapa saya, ada semacam sinyal nyaman dan kebaikan yang saya tangkap. Begini, pernah kan kita senang mengenal seseorang. Kemudian jika seorang itu datang kita dengan penuh sumringah menyapanya. Nah, perasaan itula yang dia lemparkan kepada saya saat menyapa. Seperti seorang Mbah menyapa cucunya.

Lalu, apa yang saya rasakan? Saya merasa nyaman sekali membeli wedang jahe di situ. Saya merasa dia peduli dengan saya, pelanggannya. Menyebut nama memang membuat suatu trik komunikasi yang sudah lama dilakukan untuk mengakrabkan diri. Trik itu kadang berhasil, tapi kadang tidak. Terutama buat yang menyebut nama dengan tidak ikhlas. Keliatan dan kerasa pasti kalo apa yang dia lakukan menyimpan maksud-maksud tertentu.

Tapi, apa yang si Bapak lakukan ini beda. Pada saat dia menyebut nama saya ada pesan khusu yang tertangkap. Sebuah pesan rindu. Maksudnya rindu kedatangan saya untuk membeli sebagai motif bisnis dan rindu kedatangan saya karena saya akan membeli dagangan dia yang mana keuntungannya bisa untuk menghidupi keluarganya. Ngerti gak?  Gini, simpelnya si Bapak itu bilang begini:

“Alhamdulillah Mas Mar datang. Hari ini dagangan saya laku. Artinya saya bisa kasih makan untuk keluarga saya. Secara tidak langsung kedatangan mas Mar membuat keluarga saya bisa makan. Terima kasih, Mas”

Jadi, si Bapak itu merasa kedatangan kita sebagai sebuah bala bantuan untuk menghidupi keluarganya. Sehingga Ia sangat senang dan ikhlas melayani kita. Tidak seperti pedagang lain yang sepertinya butuh tidak butuh dengan pelanggannya.

Hikmahnya, kesederhanaan itu memang membuat segalanya jadi indah. Bapak itu dagang dengan sederhana dan dengan tujuan sederhana, memenuhi kewajiban sebagai suami menghidupi keluarganya. Ia tidak berniat beli Harley, kamera mirrorless, dari hasil keuntungannya.

Hikmah yang lain adalah, memang personal itu more selling then corporations. Saya tidak peduli dengan bentuk gerobak, penataan tempat duduk atau bahkan nama dari usaha STMJ si Bapak itu. Asal dan karena tahu yang jual saya In syaa Allah membelinya. Sekalipun ia mengganti nama usahanya dan bentuk gerobaknya.

Gak heran kan kalo kita kadang pernah mengejar seseorang sampai ke daerah lain hanya karena cocok. Contohnya tukang pijet. Banyak tukang pijet yang skill-nya sama tapi kita tetap memburu tukang pijet langganan karena hanya satu kata, cocok.  Dan itulah salah satu keistimewaan gaya jualan ala timur. Menjadikan kesederhanaan dan keramahan sebagai alasan tertinggi keputusan membeli.